Pope Francis
1936 – 2025
Langkah Kecil, Hati Besar: Paus Fransiskus dan Nilai-Nilai Francis School
Tanggal 3 – 6 September 2024 akan selalu terpatri dalam ingatan umat Katolik Indonesia. Di hari-hari penuh berkat itu, Paus Fransiskus—pemimpin tertinggi Gereja Katolik—melangkahkan kakinya di bumi Nusantara. Sebuah momen langka dan menggetarkan jiwa, terutama bagi para siswa-siswi dari Francis School yang turut membanjiri Stadion Madya, Jakarta, pada 5 September 2024.
Sore itu, suasana stadion berubah menjadi lautan sukacita. Sorak-sorai membahana, tangan-tangan melambai, dan yel-yel menggema menyambut sosok sederhana yang telah mencuri hati dunia: Paus Fransiskus. Dengan senyum teduh dan lambaian tangan hangat, beliau menyapa ribuan umat yang hadir, memimpin misa akbar yang tak hanya sakral, tapi juga menggetarkan hati.
Tak ada yang menyangka bahwa perjumpaan itu akan menjadi yang pertama sekaligus terakhir. Paus Fransiskus, yang lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio, berpulang ke rumah Bapa di Surga pada 21 April 2025. Dunia berduka, namun kesederhanaan tetap hidup dalam setiap hati yang disentuhnya.
Lahir pada 17 Desember 1936 di kawasan Barrio de Flores, Buenos Aires, Argentina, Jorge adalah anak sulung dari lima bersaudara, buah cinta pasangan imigran Italia: Mario Jose Bergoglio dan Regina Maria Sivori. Sejak kecil, ia telah dikenal sebagai anak yang unik—disebut ‘good boy’ sekaligus ‘bad boy’. Nakal, iya. Tapi juga punya hati yang baik.
Siapa sangka bocah yang sering dihukum naik-turun tangga dan disuruh membaca perkalian keras-keras ini akan tumbuh menjadi Paus! Di balik kenakalannya, Jorge kecil menunjukkan semangat hidup yang luar biasa. Disiplin, jujur, dan penuh tanggung jawab (integrity). Ia bahkan mencuci piringnya sendiri dan tak pernah menyisakan makanan—sebuah kebiasaan kecil yang mencerminkan karakter besar.
Ketangguhan (resilience) juga menjadi bagian dari dirinya. Meski sempat kehilangan sebagian paru-parunya karena infeksi, Jorge tidak pernah menyerah pada hidup. Ia terus melangkah, menantang dunia dengan keteguhan hati dan semangat baja.
Cinta Jorge pada ilmu pengetahuan tak kalah besar dari cintanya pada Tuhan. Ia menyelami dunia sains dan meraih gelar master di bidang kimia dari University of Buenos Aires, lalu melanjutkan studi filsafat di Catholic University of Buenos Aires (excellence). Tapi pencariannya tak berhenti di situ.
Dalam sebuah momen hening, saat menerima sakramen tobat, ia merasakan panggilan yang menggetarkan jiwanya. Sebuah panggilan suci yang tak bisa ia abaikan—panggilan untuk menjadi imam, untuk mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan dan umat-Nya. Panggilan itu ditanggapi dengan kesadaran penuh (mindfulness) Dan dari titik itulah, langkah demi langkah ia tapaki jalan spiritual yang kelak membawanya ke Tahta Suci Vatikan, menjadi Paus ke-266 dalam sejarah Gereja Katolik.
Ketika Jorge Mario Bergoglio muncul di balkon Basilika Santo Petrus pada 13 Maret 2013, dunia melihat bukan hanya seorang pemimpin baru, tapi sebuah harapan baru. Ia memilih nama “Fransiskus,” terinspirasi dari Santo Fransiskus dari Asisi—sosok suci yang hidupnya menyerukan damai, kesederhanaan, dan kasih terhadap ciptaan.
Nama itu bukan sekadar simbol. Ia adalah pernyataan jiwa. Seperti angin sejuk yang menyapu padang gersang, nama Fransiskus membawa pesan bahwa Gereja bisa hadir dengan kelembutan, dengan cinta, dan dengan kesederhanaan yang menyentuh.
Kini, meski raganya telah tiada, semangat Paus Fransiskus terus hidup. Ia mengajarkan kita bahwa keagungan tak selalu datang dari mimbar megah atau kata-kata indah—tapi dari hati yang bersedia melayani, dari langkah yang merendah untuk mengangkat yang lemah.
Paus Fransiskus bukanlah pemimpin yang duduk di singgasana gading. Ia adalah gembala yang berjalan sambil berbuat baik di tengah kawanan, mencium luka umat dan merangkul mereka yang terpinggirkan/kaum marginal (compassion). Kesederhanaannya bukan kemiskinan, tetapi kekayaan jiwa. Ia tidak memuliakan kemewahan, tapi memilih berjalan dengan sepatu yang sudah usang demi mendekatkan dirinya pada umat yang terpinggirkan.
Ia mulai dengan langkah kecil, namun berhati besar. “Mulailah dengan melakukan apa yang perlu, lalu lakukan apa yang mungkin, dan akhirnya kamu akan mampu melakukan hal-hal yang tampaknya mustahil.” – Santo Fransiskus dari Asisi. Ungkapan ini menekankan pentingnya memulai dengan langkah-langkah kecil yang realistis untuk mencapai tujuan besar.
Ia berbicara, dan dunia mendengar. Di awal masa kepemimpinannya, ia menulis ensiklik Laudato Si’. Dalam ensiklik tersebut, Paus Fransiskus berseru laksana nabi modern: bahwa bumi—rumah kita bersama—telah terluka. Ia menyebut dosa ekologis dengan bahasa yang menusuk nurani, mengingatkan bahwa kerakusan manusia telah mengoyak jalinan harmoni ciptaan Tuhan.
Ia tidak menuduh, tetapi mengajak: kepada pertobatan ekologis, kepada perubahan cara hidup yang lebih lembut terhadap bumi, lebih ramah terhadap sesama, lebih bijaksana terhadap waktu. “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” – Kejadian 2:15
Semangat hidup Paus Fransiskus menggema sampai ke sudut-sudut pendidikan, hingga Francis School—sebuah sekolah yang tumbuh dalam semangat yang sama, bersumber dari sosok yang sama: Santo Fransiskus dari Asisi. Di bawah naungannya, Francis School tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu, tetapi juga ladang untuk menabur cinta, menumbuhkan empati, dan memanen karakter.
Setiap hari, semangat Francisian mengalir di lorong-lorong sekolah, di dalam kelas: dalam sapaan hangat coaches, dalam kepedulian antar teman, dalam proyek-proyek kemanusiaan yang menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Para siswa diajak untuk menjadi sahabat bagi sesama, dan pelindung bagi bumi—tidak sekadar dengan teori, tetapi lewat tindakan kecil yang menyala: tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi konsumsi plastik, hingga berbagi pada yang lapar.
Semangat hidup santo Fransiskus Asisi terpatri dalam nilai-nilai dasar Francis School—mindfulness, integrity, resilience, compassion, dan excellence—adalah lima jari dari tangan yang siap melayani. Mindfulness adalah mata hati yang terjaga, integrity adalah langkah yang jujur, resilience adalah semangat yang tak lekang oleh badai, compassion adalah pelukan yang menguatkan, dan excellence adalah persembahan terbaik dari hati yang bersyukur. Nilai-nilai ini bukan hanya teori di papan tulis, tapi dihidupi setiap hari, menjadi napas dari setiap Francisian sejati.
Sebagaimana Paus Fransiskus yang hidup dalam keheningan namun bersuara lantang lewat kasih, demikian pula cita-cita Francis School: melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas akal, tetapi juga lembut hati; tidak hanya pandai berargumentasi, tetapi juga berani melayani.
Akhirnya, dalam dunia yang sering kali bising oleh ego dan hiruk-pikuk ambisi, semoga kita—komunitas Francis School—menjadi seperti Paus Fransiskus: sederhana namun berdampak, rendah hati namun kuat, mencintai bumi dan semua yang berdiam di dalamnya. Sebab dalam setiap senyum yang tulus, dalam setiap tangan yang membantu, dalam setiap aksi kecil yang penuh cinta—di sanalah Fransiskus hidup kembali.
Salam,
Coach Fabian
Tangerang Selatan, 28 April 2025